Sabtu, 16 Juli 2011

Sejarah Militer Dalam Pentas Politik Indonesia

Krisis ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi.

[Image: semanggi_011.jpg]

Proposisi Kelas Menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite Birokrasi - Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka. Selama 32 tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses demokratisasi melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari implementasi struktural peran sosial politik ABRI. Selama itu pula militer tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik sepanjang pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran sosial politiknya maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.

Ditengah arus gelombang demokratisasi yang begitu kuat melanda negara-negara dunia ketiga ( third world countries ) saat ini telah membuat redifinisi tentang keterlibatan militer dalam politik dan dominos effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama melalui apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat sipil dengan cita - cita reformasi total.. Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.

Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan.

Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat dimana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya the soldier and the state : the theory of civil - military relations, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.

Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI.

Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme.

Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru.

Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuanmgan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.

sumber : http://1.bp.blogspot.com/-5vDXojxEA-E/TfrybU4f01I/AAAAAAAAFjw/nJXIkNhSjyM/s1600/kaskus-haxims.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar