Lempar Nasi Nyadran Khas Desa Pelang Lor Biasanya upacara nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Ngawi dan sekitar adalah berupa selamatan dan acara kesenian seperti tayuban, pertunjukan wayang kulit, atau bersih-bersih sekitar punden (sebagi pusat kegiatan). Namun di Desa Pelang Lor, Kecamatan Kedunggalar sangat berbeda. Ritual Nyadran yang dihelat tiap tahun pada Hari Jum’at Legi, tepatnya setelah panen kedua yang berupa lempar nasi sebagai acara puncaknya. Spoiler for Muka2 Orang Kaya gan: Dipimpin oleh orang yang dituakan yakni Kepala Desa dan didampingi oleh seorang juru kunci, ritual lempar nasi dimulai langsung di Punden Desa berupa sumber air yang oleh masyarakat setempat disebut Sendang Tambak Selo. Awalnya nasi dari masyarakat yang telah terkumpul dalam sebuah bungkusan beserta lauk pauk dikumpulkan di sebelah timur sendang. Masing-masing kepala keluarga diwajibkan memberikan sumbangan nasi bungkusan berjumlah antara 5 – 10 bungkus. Setelah usai dido’akan atau dimanterai oleh kades, kemudian secara spontan masyarakat yang telah berkumpul tersebut berebut nasi. Bukannya untuk dimakan atau dibawa pulang, melainkan dilemparkan sembarangan kepada gerombolan orang. Setelah usai dan puas saling lempar kemudian masyarakat buyar pulang ke rumah masing-masing. Dan upacarapun telah dianggap usai. Spoiler for Muka2 Orang Kaya gan: Menurut penjelasan dari pelawangan atau juru kunci, bahwa upacara ritual lempar nasi memiliki maksud dan tujuan tertentu. Salah satunya yaitu sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan dan bersedekah kepada sesama setelah panenan warga melimpah. Oleh sebab itu nyadran masyarakat Desa Pelang Lor selalu melakukan upacara pada tiap usai panen kedua setiap tahun. “Sedekah itu tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada makhluk hidup lain, termasuk binatang liar dan makhluk halus yang menjadi danyang di desa ini,” ujar Wiryo Sumarto yang didampingi oleh Kepala Desa. Sepintas acara lempar-lemparan nasi ini akan bermakna sebagai penghamburan makanan atau rejeki. Namun menurut kepercayaan masyarakat desa setempat memiliki makna yang lain, yaitu keikhlasan untuk berkorban dan peduli kepada orang lain bahkan makhluk hidup lain. “Memang ini hanya gugon tuhon, warisan nenek moyang kami. Tetapi kami juga tidak mau berisiko meniadakan. Faktanya, saat ritual dilaksanakan, namun salah satu persyaratan saja tidak dilaksanakan, akibatnya akan fatal. Bahkan ada yang tidak panen gara-gara ritual dilaksanakan saat yang tidak tepat,” terang Suto salah seorang warga. |
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10772323 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar