Adzan Maghrib sudah berkumandang dan sholat berjamaah pun segera ditunaikan. Tak ada yang aneh, hanya mataku yang menangkap seseorang yang aku rasa asing. Baru kali ini aku lihat dia di masjid ini 'ow mungkin sanak family orang-orang di komplek ini' batinku. Ternyata salah, dia seorang penjual somay keliling. Usianya mungkin belum 15 tahun, masih kecil. Apalagi untuk berjualan keliling dengan sepeda di malam hari. Setidaknya itu menurutku.
Hari ini aku membelinya, kalau cocok dengan lidah bolehlah jadi langganan. Dan sembari menunggu pesanan, aku memperhatikan sepedanya, jangan bayangkan sepeda lipat atau sepeda gunung yang berharga jutaan, tapi ya sepeda -maaf- 'khas' tukang somay. Rasanya tak perlu dijelaskan di sini. Dan rasa keingintahuanku muncul,
"Pulang jam berapa mas?" -bukan berarti dia lebih tua lho-
"kadang jam sembilan, kadang lebih, bisa kurang"
"ow, nunggu habis ya?"
"kadang belum habis juga sudah pulang"
"keliling sampai mana?"
"dari pondok kelapa, ciledug, sampai sini pak"
Sepengetahuanku jarak yang dia sebutkan lumayan jauh. Dalam hati aku mengaguminya, seorang anak yang berjuang untuk hidup dengan cara yang sungguh mulia, bukan meminta-minta apalagi menghalalkan segala cara.
'toko' Bajaj
Hari ini, berhubung nggak ada acara, istri juga sedang pulangkampung, bedriamdiri di rumah sepertinya lebih manarik, lebih tepatnya di kamar. Sekedar berselancar di internet sembari tiduran, sesekali ngemil dan 'menonton' tv. Bukan menonton, tapi lebih tv yang 'menonton'ku karena mataku selalu tertuju ke layar monitor. Ya, hitung-hitung sebagai teman, paling tidak ada suara selain bunyi keyboard. hehehe.
Entah berapa acara terlewat, kuliner, rumah, gosip, berita, hingga satu acara menarik perhatianku. Ngulik. Episode tadi, Asri Welas (pembawa acara) mewawancarai seseorang yang memenuhi bajaj (entah bajaj atau bemo)-nya dengan berbagai barang kebutuhan rumah tangga, alat-alat rumah tangga sepertinya.
Konon, pemilik 'toko' bajaj mengalami kecelakaan, hingga ia mengalami cacat permanen. Ketika ditanya 'kok nggak sedih', dengan tenang ia menjawab tak ada yang perlu disedihkan. Malu, benar-benar malu, bagaiman tidak, dengan segala yang kumiliki kadang masih mengeluh. Astaghfirullah.
Bukan hanya itu, bahkan ia tidur, sholat -konon, ada 'mushola' juga di situ- dan -maaf- buang air kecil/besar di 'toko' itu. Satu lagi, Ia melakukan semuanya sendiri. Lagi-lagi aku tersentuh, seorang yang patut di contoh, dengan -maaf- segala kekurangan yang ada pada dirinya, ia tetap berusaha dengan keringatnya, bukan dengan menengadahkan tangan, mengharap belas orang -yang kadang, bahkan setengah memaksa-.
Pengemis
Selang beberapa jam, ada satu lagi acara yang menarik perhatianku. Bukan hanya perhatian, tapi juga secara emosi. Bagaimana tidak, seorang ibu yang masih sehat, meminta-minta di jalan, naik turun dari satu angkutan ke angkutan lain. Kalau hanya dia sendiri tak apalah, bagiku itu bagian dari 'hak asasi'. Mereka mau meminta-minta atau berusaha yang lain itu pilihan, kita tak bisa memaksa, karena kita juga nggak bisa berbuat banyak untuknya. Tapi meminta-minta jutru memancing emosi ketika mereka membawa bayi sebagai 'alat' untuk meraih simpati. Katanya, ia bisa memperoleh 'pendapatan' lebih dengan membawa bayi. Dan yang lebih memancing emosi adalah bahwa bayi itu hasil 'sewaan'. Masya Allah, seorang ibu mau 'mengorbankan' anaknya hanya untuk separuh dari penghasilan (menurut pengakuan ibua bayi, dia mendapatkan setengah dari hasil) mengemis? Inilah realita. Terjadi di depan mata namun seringkali kita tak bisa berbuat apa-apa, bahkan pihak 'berwajib' pun seolah menutup mata, tak mau tahu, atau tak punya pilihan selain 'membiarkan'? Entahlah.
Lantas, apa hubungannya dengan Marzuki Alie? Apakah mereka keluarga dari Marzuki Alie? Tentu bukan. Tak ada hubungan kerabat antara mereka, antara satu dengan lainnya, 'hanya' hubungan rakyat dengan WAKIL RAKYAT.
Menilik pernyataan beliau yang terhormat, "Cuma orang-orang elite yang paham membahas masalah ini. Rakyat biasa tidak bisa ikut," ujar Marzuki di gedung DPR, Jumat (1/4). Sepertinya benar, kali ini aku setuju dengan beliau yang terhormat. orang-orang, rakyat kecil seperti mereka dan entah berapa banyak lainnya, mungkin tidak tahu, entahlah apa yang terjadi di luar sana, di gedung yang terhormat itu, yang -katanya- mewakili rakyat. Kalaulah tahu, mereka memilih untuk tidak tahu, memilih untuk lebih fokus mencari dan menata hidup dan kehidupannya.
Tukang somay, 'toko' bajaj dan pengemis yang muncul di acara tv hari ini hanyalah tiga dari sekian banyak orang yang tak tahu, bahkan tak peduli dengan pernyataan Marzuki Alie, tak peduli dengan gonjang-ganjing 'bagi-bagi' kekuasaan ala elit politik. Urusan perut adalah hal yang utama agar hidup dan kehidupannya tetap berlanjut. Mungkin kita, dan rakyat biasa lainnya tak punya istana semegah DPR, tapi setidaknya kita punya hati untuk melihat sekeliling dengan bijak, untuk senantiasa bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya.
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7774743
Hari ini aku membelinya, kalau cocok dengan lidah bolehlah jadi langganan. Dan sembari menunggu pesanan, aku memperhatikan sepedanya, jangan bayangkan sepeda lipat atau sepeda gunung yang berharga jutaan, tapi ya sepeda -maaf- 'khas' tukang somay. Rasanya tak perlu dijelaskan di sini. Dan rasa keingintahuanku muncul,
"Pulang jam berapa mas?" -bukan berarti dia lebih tua lho-
"kadang jam sembilan, kadang lebih, bisa kurang"
"ow, nunggu habis ya?"
"kadang belum habis juga sudah pulang"
"keliling sampai mana?"
"dari pondok kelapa, ciledug, sampai sini pak"
Sepengetahuanku jarak yang dia sebutkan lumayan jauh. Dalam hati aku mengaguminya, seorang anak yang berjuang untuk hidup dengan cara yang sungguh mulia, bukan meminta-minta apalagi menghalalkan segala cara.
'toko' Bajaj
Hari ini, berhubung nggak ada acara, istri juga sedang pulangkampung, bedriamdiri di rumah sepertinya lebih manarik, lebih tepatnya di kamar. Sekedar berselancar di internet sembari tiduran, sesekali ngemil dan 'menonton' tv. Bukan menonton, tapi lebih tv yang 'menonton'ku karena mataku selalu tertuju ke layar monitor. Ya, hitung-hitung sebagai teman, paling tidak ada suara selain bunyi keyboard. hehehe.
Entah berapa acara terlewat, kuliner, rumah, gosip, berita, hingga satu acara menarik perhatianku. Ngulik. Episode tadi, Asri Welas (pembawa acara) mewawancarai seseorang yang memenuhi bajaj (entah bajaj atau bemo)-nya dengan berbagai barang kebutuhan rumah tangga, alat-alat rumah tangga sepertinya.
Konon, pemilik 'toko' bajaj mengalami kecelakaan, hingga ia mengalami cacat permanen. Ketika ditanya 'kok nggak sedih', dengan tenang ia menjawab tak ada yang perlu disedihkan. Malu, benar-benar malu, bagaiman tidak, dengan segala yang kumiliki kadang masih mengeluh. Astaghfirullah.
Bukan hanya itu, bahkan ia tidur, sholat -konon, ada 'mushola' juga di situ- dan -maaf- buang air kecil/besar di 'toko' itu. Satu lagi, Ia melakukan semuanya sendiri. Lagi-lagi aku tersentuh, seorang yang patut di contoh, dengan -maaf- segala kekurangan yang ada pada dirinya, ia tetap berusaha dengan keringatnya, bukan dengan menengadahkan tangan, mengharap belas orang -yang kadang, bahkan setengah memaksa-.
Pengemis
Selang beberapa jam, ada satu lagi acara yang menarik perhatianku. Bukan hanya perhatian, tapi juga secara emosi. Bagaimana tidak, seorang ibu yang masih sehat, meminta-minta di jalan, naik turun dari satu angkutan ke angkutan lain. Kalau hanya dia sendiri tak apalah, bagiku itu bagian dari 'hak asasi'. Mereka mau meminta-minta atau berusaha yang lain itu pilihan, kita tak bisa memaksa, karena kita juga nggak bisa berbuat banyak untuknya. Tapi meminta-minta jutru memancing emosi ketika mereka membawa bayi sebagai 'alat' untuk meraih simpati. Katanya, ia bisa memperoleh 'pendapatan' lebih dengan membawa bayi. Dan yang lebih memancing emosi adalah bahwa bayi itu hasil 'sewaan'. Masya Allah, seorang ibu mau 'mengorbankan' anaknya hanya untuk separuh dari penghasilan (menurut pengakuan ibua bayi, dia mendapatkan setengah dari hasil) mengemis? Inilah realita. Terjadi di depan mata namun seringkali kita tak bisa berbuat apa-apa, bahkan pihak 'berwajib' pun seolah menutup mata, tak mau tahu, atau tak punya pilihan selain 'membiarkan'? Entahlah.
Lantas, apa hubungannya dengan Marzuki Alie? Apakah mereka keluarga dari Marzuki Alie? Tentu bukan. Tak ada hubungan kerabat antara mereka, antara satu dengan lainnya, 'hanya' hubungan rakyat dengan WAKIL RAKYAT.
Menilik pernyataan beliau yang terhormat, "Cuma orang-orang elite yang paham membahas masalah ini. Rakyat biasa tidak bisa ikut," ujar Marzuki di gedung DPR, Jumat (1/4). Sepertinya benar, kali ini aku setuju dengan beliau yang terhormat. orang-orang, rakyat kecil seperti mereka dan entah berapa banyak lainnya, mungkin tidak tahu, entahlah apa yang terjadi di luar sana, di gedung yang terhormat itu, yang -katanya- mewakili rakyat. Kalaulah tahu, mereka memilih untuk tidak tahu, memilih untuk lebih fokus mencari dan menata hidup dan kehidupannya.
Tukang somay, 'toko' bajaj dan pengemis yang muncul di acara tv hari ini hanyalah tiga dari sekian banyak orang yang tak tahu, bahkan tak peduli dengan pernyataan Marzuki Alie, tak peduli dengan gonjang-ganjing 'bagi-bagi' kekuasaan ala elit politik. Urusan perut adalah hal yang utama agar hidup dan kehidupannya tetap berlanjut. Mungkin kita, dan rakyat biasa lainnya tak punya istana semegah DPR, tapi setidaknya kita punya hati untuk melihat sekeliling dengan bijak, untuk senantiasa bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya.
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7774743
Tidak ada komentar:
Posting Komentar