Agar senyawa itu tidak berkurang, tempe yang berbahan baku kedelai itu diolah menjadi yoghurt atau disebut 'Tempegurt'. Tempegurt ini hasil penelitian tiga mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ketiga mahasiswa itu, adalah Rio Jati Kusuma, Rifka Kumala Dewi, dan Nuraini Wahyu Setyaningrum.
"Senyawa anti oksidan mampu menangkal radikal bebas dalam tubuh. Senyawa antioksidan tempe sekitar 60 persen. Namun, pengolahan dengan digoreng atau direbus yang terlalu lama bisa menurunkan kadar antioksidan dalam tempe," ungkap Rio Jati Kusuma kepada wartawan di FK UGM, Bulaksumur, Senin (27/9/2010).
Rio mengatakan, tempe yang diolah menjadi yoghurt mampu meningkatkan aktivitas antioksidan. Pengolahan ini juga bisa menimbulkan antioksidan baru, yaitu 3 hydroxiantralinic acid (3-haa) yang lebih kuat dari vitamin E dan Isoflavon. "Selain bisa menangkal radikal bebas, juga bisa bisa menurunkan tingkat kerusakan hati," katanya.
Menurutnya, ide pemanfaatan tempe menjadi yoghurt, berawal banyaknya kasus penyakit kerusakan hati. Salah satu penyebab kerusakan hati, akibat konsumsi parasetamol yang tidak terkontrol. Penggunaan parasetamol tanpa dosis tepat dan tidak terkontrol, bisa menimbulkan kerusakan akut jaringan hati.
Menurut rekan Rio, Rifka Kumala Dewi, membuat yoghurt tempe cukup mudah. Bahan yang digunakan untuk tempegurt terdiri 1 kg tempe, air 3 liter, gula pasir sebanyak 5 persen, susu skim (susu tanpa lemak) sebanyak 2 persen, dan starter yoghurt, yakni lactobacillus bulgaricus dan streptococous thermophilus masing-masing 2 persen.
Cara pembuatannya lanjut Rifka, pertama tempe dicuci dan direbus selama 10 menit. Selanjutnya, tempe diblender dan disaring untuk mendapatkan sari patinya. Lalu, sari pati dicampur gula dan susu skim dimasak, hingga mendidih dan didinginkan. Setelah dingin campuran tersebut diberikan bakteri yoghurt dan diinkubasi pada suhu 42 derajat celcius selama 8 jam.
"Dari 90 gram tempe bisa dihasilkan 600 mililiter yoghurt tempe yang bisa tahan sampai 1 minggu, jika disimpan dalam kulkas. Yoghurt yang dihasilkan memiliki karakteristik hampir serupa dengan yoghurt susu, tapi sedikit lebih encer. Rasanya pun agak lebih asam," tuturnya.
Sementara itu Nuraini Wahyu menambahkan, penelitian ini berawal dari program kreatifitas mahasiswa (PKM) untuk mengetahui efek yoghurt tempe terhadap jumlah SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase), SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), pada hati setelah diujicobakan pada tikus galur wistar. Keduanya merupakan enzim pada hati yang akan meningkat jumlahnya, apabila hati mengalami kerusakan.
Penelitian ini diujicobakan pada 24 tikus galur wistar yang berumur 2 bulan berat badan rata-rata 100-150 gram. 24 tikus itu dibagi menjadi empat kelompok, yaitu kelompok yang mendapat diet standar dan tempeghurt 2 gram, kelompok yang mendapat diet standar dan tempeghurt 4 gram, kelompok yang mendapat diet standar, dan tempeghurt 8 gram, dan kelompok yang hanya mendapat diet standar tanpa tempeghurt (kontrol negatif).
Setelah itu kata Nuraini, keempat kelompok diberi parasetamol secara oral untuk merusak hati. Dosis parasetamol yang diberikan sebanyak 2.000 mg/kg berat badan tikus. Perlakuan tersebut dilakukan selama tiga minggu.
Dari hasil percobaan tikus yang mendapatkan perlakuan diberi penambahan tempeghurt diketahui peningkatan jumlah enzim SGOT dan SGPT lebih rendah. "Tikus yang diberi tempeghurt diketahui enzim SGOT dan SGPT-nya bisa turun, hingga 50 persen. Bisa disimpulkan dengan tempeghurt bisa menurunkan tingkat kerusakan hati," kata Nuraini.
Wah, dalam hal ini kita patut berbangga tentunya dengan penelitian 3 mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ini, karena penelitian mereka dapat memberi manfaat untuk kesehatan, dan bagaimana cara mengosumsi tempeghurt untuk memperbaiki kerusakan pada hati. Salut untuk ketiga anak bangsa Indonesia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar