Jumat, 16 Desember 2011

Sejarah Panjang CIA, Dinas Intelejen Terbesar Di Dunia

Perang ini tak akan berakhir sampai semua kelompok teroris dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan!” Cuplikan pidato Presiden George W. Bush, sembilan hari setelah Serangan 9/11 ini menjadi arahan baru sekaligus cambuk bagi CIA untuk berbenah diri. Tak banyak orang tahu bahwa di balik nama besarnya, CIA ternyata tengah dilihat berbagai masalah.


Petaka penerbangan bunuh diri ke beberapa gedung simbol perdagangan dan pertahanan Amerika pada 11 September 2001 atau yang biasa dikenal sebagai Peristiwa 9/11, tak ayal menjadi momentum tersendiri bagi Dinas Intelijen Pusat AS atau CIA untuk berbenah. Ulah teroris internasional yang menewaskan sekitar 3.000 warga AS itu seolah membenarkan tudingan bahwa CIA tengah menghadapi masalah yang sangat serius sekaligus kronis.

CIA, Dinas Intelijen Terbesar Didunia

Sistem intelijen yang telah dibangun puluhan tahun dan kabarnya kini terkuat di dunia itu, ternyata gagal menangkal ancaman dan serangan teroris. Di saat bangsa AS tengah menghadapi ancaman teroris, memang ironis mendapati CIA yang dibangun dengan anggaran ratusan miliar dolar khusus untuk mengantisipasi serangan dari luar, justru gagal mengerjakan tugas utamanya.


Juga sebuah ironi mendapati institusi yang selama ini didengangdengungkan terdepan dalam urusan keamanan nasional, ternyata “tak berbunyi apa-apa” ketika menghadapi ancaman yang membahayakan negerinya. Tak ingin dikambing-hitamkan, CIA sendiri berusaha membela diri dengan mengatakan bahwa berbagai temuan informasi terkait Serangan 9/11 telah dilaporkan kepada Penasehat Keamanan Nasional. Namun penasihat presiden untuk urusan keamanan nasional itu bergeming.

Rakyat AS toh memahami bahwa urusan keamanan nasional bukan hanya tanggung jawab CIA. Ada lembaga serupa lain dan lembaga terkait yang harus saling berkoordinasi memberi masukan kepada Presiden AS. Laporan intelijen yang mereka sampaikan pada prinsipnya juga harus memenuhi takaran checks and balances. Dalam kaitan ini, ada tiga lembaga eksekutif dan tiga lembaga yudikatif yang harus menyaring lebih dulu sebelum presiden mengambilnya sebagai salah satu komponen pengambil kebijakan.

Dengan demikian, terkait Serangan 9/11, Presiden sendirilah sesungguhnya yang harus menginstruksikan langkah-langkah pencegahannya. Dalam artikel berjudul "Menjegal Komunis, Memburu Teroris," wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy melukiskannya sebagai penyakit bureacratic politics yang ternyata sudah begitu sistemik di AS.


Seorang anggota US Secret Service membisikan petaka di New York ke telinga Presiden George W. Bush. Ketika serangan teroris terjadi Presiden sedang berkunjung ke SD Emma E. Brooker, Sarasota, Florida. Kegagalan CIA mengantisipasi serangan ini mendorong Bush memberikan taklimat khusus tentang perburuan teroris dunia.

Tak ayal Serangan 9/11 menampar dan mempermalukan wajah Presiden sebagai Panglima Tertinggi hasil akhir yang sesungguhnya diinginkan kelompok teroris musuh AS. Maka, sangat lah wajar jika Presiden AS selaku user utama informasi kelas satu CIA geram. Presiden AS (saat Serangan 9/11 terjadi) George W. Bush segera menuntut Direktur CIA, George Tenet, memperbaiki performa dan pola kerja institusi yang dipimpinnya.

Beberapa hari setelah serangan terjadi, Bush dikabarkan membedah arahan top secret setebal 14 halaman kepada CIA dan sejumlah otoritas keamanan nasional untuk memburu dan menangkap para pelaku. Genderang perang melawan teroris pun ditabuh. Di bawah perintah Bush, CIA mulai berperan sebagai polisi militer global yang menjebloskan ratusan tersangka ke penjara rahasia di Afghanistan, Thailand, Polandia, dan yang paling tekenal di Guantanamo.

CIA juga mengirim mereka ke penyidik-penyidik kejam di dinas intelijen Mesir, Pakistan, Yordania dan Suriah untuk diinterogasi. Hal ini mengingatkan kita pada penangkapan Umar Al-Faruq di Bogor dan Hambali di Bandung beberapa tahun lalu. Tanpa berkoordinasi dengan Polri, mereka langsung dijemput dan dibawa ke tahanan khusus di luar negeri.

Kepada publik Amerika, pada 20 September 2001, Bush berpidato tentang perang melawan teroris. “Perang kita melawan teror dimulai dengan Al Qaeda, tetapi tidak berakhir sampai disitu. Perang ini tidak akan berakhir sampai semua kelompok teroris di dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan,” tegasnya. Disadarkan kembali bahwa semua informasi intelijen bersifat strategis dan menentukan masa depan bangsa dan negara, tiga tahun kemudian, Gedung Putih mengangkat seorang pejabat baru di lingkup intelijen, yakni Direktur Intelijen Nasional. Dia memimpin sebuah institusi yang memayungi dinas intelijen AS agar bisa bekerja lebih terkontrol, integratif dan saling berkoordinasi.

Director of National Intelligence mengelola 16 dinas intelijen AS sekaligus menjadi pengawas dan pengatur program intelijen nasional AS. Ke-16 dinas intelijen itu adalah CIA, AFISRA, MI, DIA, MCIA, NGA, NRO, NSA, ONI, OICI, I&A, CGI, FBI, DEA, INR, dan TFI. Tetapi perang melawan teroris ternyata tak semudah memerangi musuh-musuh terdahulu yang memiliki penguasa dan batas wilayah yurisdiksi yang jelas. Perang melawan organisasi tanpa bentuk ini tak pernah berujung pada penangkapan Osama bin Laden.

Berita berbagai harian di dunia (19/10/2010) malah menyatakan, Bin Laden masih bisa menikmati kenyamanan tempat tinggalnya di wilayah Pakistan. Bukan digua-gua Pegunungan Tora Bora, Afghanistan, seperti dilaporkan agen-agen CIA. Perburuan terhadap gembong Al Qaeda ini sebaliknya malah menciptakan kisruh di “rumah sendiri”. Banyak warga AS resah karena CIA diberi kewenangan kontroversial untuk memata-matai dan menyadap percakapan warga AS yang sebelumnya amat dilarang.
Di dalam tubuh AB AS, kejengkelan juga kian menggunung akibat gagalnya berbagai misi penyergapan Osama bin Laden. Semua oleh sebab informasi intelijen agen-agen CIA yang tak pernah akurat. Kali lain, pesawat tanpa awak Predator dengan tentengan rudal Hellfire lagi-lagi gagal mengeksekusi sasaran Rudal tak mengenai Bin Laden, melainkan puluhan warga sipil Afghanistan yang tak punya urusan apa-apa dengan Al Qaeda.

Alih-alih tak kunjung berhasil menangkap Bin Laden, sejak 1 Maret 2002 sasaran dialihkan ke Irak – negara yang dituduh membangun senjata pemusnah massal dan mendukung teroris dunia. Di sini pun CIA dan Pemerintah AS lagi-lagi tak bisa membuktikan keampuhan dinas intelijennya. Invasi militer besar-besaran memang telah menumbangkan rezim Saddam Hussein, namun tuduhan tentang senjata pemusnah massal itu tak pernah bisa dibuktikan karena hanya berdasar serangkai informasi tak memadai.

Doktrin Truman

Mengapa AS sangat menaruh perhatian pada intelijen? Hal ini bisa ditelusuri lewat perjalanan sejarah bangsa ini. Dalam perjalanan sejarahnya, selain China, adalah sebuah takdir tersendiri jika Amerika “terlahir” sebagai negara yang amat peduli dengan urusan intelijen. Dalam sejarahnya, bangsa Amerika telah mengalami berbagai peperangan dan menyadarkan mereka tentang betapa pentingnya informasi intelijen. Tentara Amerika telah melakukan kegiatan mata-mata sejak abad 17 atau persisnya sejak mereka terlibat Perang Revolusi (1775-1793). Pergolakan dalam peperangan melawan pasukan Inggris ini memberi pelajaran betapa informasi intelijen sangat berguna untuk mengantisipasi gerakan musuh dan menyusun langkah ke depan.

Meski begitu Amerika baru benar-benar memiliki lembaga resmi untuk urusan ini pada tahun 1880-an, yakni Office of Naval Intelligence (ONI) dan Army’s Military Intelligence Division. ONI dibentuk pada 1882 untuk mencari tahu kemajuan dan perkembangan armada laut negara lain. Untuk keperluan serupa, tiga tahun kemudian Angkatan Darat AS membentuk AMI. Keduanya masih bertahan hingga sekarang, dan masuk ke dalam komunitas 16 dinas intelijen AS.


Presiden John F. Kennedy menyambut kedatangan pendahulunya, Dwight D. Eisenhower. Kennedy dan seiumlah presiden AS lain amat menaruh hormat padanya. Eisenhower banyak dimintai nasihat tentang bagaimana cara meredam ketegangan dengan Uni Soviet dan Kuba.

Akan halnya CIA sendiri, keberadaan dinas intelijen ini sesungguhnya telah dibentuk sejak 1942. Gedung Putih memulainya dengan Office of Strategic Services – dinas intelijen dadakan yang dibentuk secara taktis untuk merespon serangan Jepang terhadap Pangkalan AL AS di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941. Serangan besar pembuka Perang Pasifik itu merupakan aib tersendiri bagi pejabat militer AS karena gagal memecahkan sinyalsinyal rahasia militer Jepang yang sebenarnya bisa mereka intercept.

Sinyal-sinyal rahasia yang dikirim panglima militer Jepang ke berbagai komandan kesatuannya di lapangan itu ternyata merupakan kode pembuka serangan. Washington sangat terpukul oleh serangan 353 pesawat AL Jepang dari enam kapal induk yang meng hancurkan tujuh kapal perang, 188 pesawat terbang dan menewaskan 2.402 orang ini. OSS dibentuk dan dipimpin pertama kali oleh Jenderal William J Donovan – satu dari segelintir petinggi militer yang memang punya obsesi mempelajari kemampuan, tujuan dan aktivitas bangsa-bangsa asing yang punya kecenderungan menjadi musuh Amerika.

Meski begitu, selama Perang Eropa dan Perang Pasifik berkecamuk, OSS toh tidak mampu bekerja semaksimal yang diinginkan. Minimnya arahan Presiden sebagai user utama membuat OSS lebih banyak bekerja sebagai pengumpul berita. Mereka seolah hanya dibentuk untuk menjamin agar Presiden AS tidak ketinggalan informasi tentang perkembangan dunia. Di dalam pemerintahan, OSS juga tidak diberi ruang gerak oleh sebab resistensi yang terlampau tinggi dari para elite politik. Mereka risih karena merasa ikut diawasi agenagen rahasia dari dinas yang sangat tertutup dan diliputi kerahasiaan itu. OSS pun dibubarkan pada 20 September 1945.

Namun, dorongan alamiah bahwa Amerika memerlukan sebuah organisasi intelijen yang mendunia tak pernah padam. Tanda-tanda untuk hidup kembali muncul tak lama setelah AS (Sekutu) memenangkan Perang Dunia II. Belum setahun kemenangan itu berlalu, AS sudah merasa diperdaya oleh Uni Soviet – salah satu pendukung Sekutu dalam Perang Eropa. Joseph Stalin, pemimpin Uni Soviet, diam-diam berusaha menebar paham komunis di beberapa negara Eropa dan ini amat tidak disukai AS yang sebaliknya ingin menjadikan Eropa hidup dengan budaya Barat dan berpaham kapitalis.

Sadar bahwa langkah pencegahan harus bersifat strategis dan jangka panjang, pada 18 September 1947 Presiden AS Harry Truman membentuk Dinas Intelijen Pusat, CIA. Tugas pertamanya singkat saja, yakni mengantisipasi dan menyabot sepak terjang komunis di Eropa. Perintah operasi rahasia dinas dikendalikan langsung oleh Dewan Keamanan Nasional, yang bertanggung-jawab kepada Presiden. Pucuk pimpinan pertama diserahkan kepada Laksamana Madya Roscoe Hillenkoetter, perwira AL AS yang kerap dipergunjingkan tak memiliki reputasi apa-apa.

Misi pertama agen CIA, waktu itu, adalah menjegal terpilihnya pemimpin Italia dalam pemilu yang dibayangi komunis Rusia. Eropa pasca PD II dengan ekonomi yang morat-marit sangat potensial masuk ke pelukan komunis. Gedung Putih berpendapat, jika Italia jatuh ke tangan komunis, maka akan ambruk pula “kursi paling tua yang telah berabad-abad memiliki corak Budaya Barat”. Kemenangan komunis di Italia akan mengancam dunia, karena di sini juga berdiri Takhta Suci Vatikan yang memimpin jutaan umat Katolik di dunia. Jutaan dollar kemudian digelontorkan ke kantong para politisi Italia. Orang-orang komunis itu pun berhasil dihalau.


Richard Helms, salah seorang direktur CIA yang dianggap berhasil. la menggantikan William Raborn yang dianggap gagal memimpin CIA tatkala AS terjebak dalam Perang Vietnam. Menurut Eisenhower, intelijen AS kurang memberi dukungan. Sementara menurut Helms. kegagalan intelijen AS adalah karena ketidakpedulian agen-agennya pada sejarah, masyarakat, dan bahasa Vietnam

Agen rahasia AS dan Inggris juga mencium gelagat bahwa Stalin mengincar Yunani dan Perancis. Untuk itu bukan tanpa alasan jika Presiden Harry Truman memberi pernyataan tentang gencarnya “serangan” komunis di hadapan kongres pada 12 Maret 1947: “Setiap serangan yang dilancarkan oleh musuh Amerika di negara mana pun di dunia dianggap sebagai serangan terhadap Amerika Serikat.” Mayoritas anggota Kongres kontan berdiri dan menyambutnya dengan tepuk tangan.

Sebagai salah satu pendukung kemenangan Sekutu dalam memberangus kekuatan Nazi Jerman, Uni Soviet tentu punya kesempatan sama menciptakan pengaruh di seluruh Eropa. Begitu ujar George Kennan, salah seorang politikus pakar Kremlin (Kremlinologist) yang punya pengaruh kuat di Gedung Putih. Kennan adalah diplomat muda mantan Atase Dubes AS untuk Uni Soviet, seorang ilmuwan dan ahli sejarah yang sangat memahami kultur Rusia.

Banyak yang mengatakan, pandangan mantan Dubes AS untuk Uni Soviet (1952) ini lah yang sesungguhnya menjadi pemantik Perang Dingin Ucapan (peringatan) George Kennan mendorong Pemerintah AS melancarkan tiga gerakan yang amat menentukan perjalanan dunia sekaligus sebagai strategi untuk menghadapi Stalin. Pertama, dikeluarkannya Doktrin Truman yang menjadi sinyal ketidaksukaan AS terhadap kasak-kusuk Uni Soviet di Eropa. Kedua, Marshall Plan, bantuan logistik untuk membendung pengaruh komunis di Eropa. Dan, ketiga, diaktifkannya operasioperasi intelijen yang nantinya akan dibakukan lewat organisasi pengganti OSS, yakni CIA.

Truman sendiri secara pribadi tidak begitu menyukai keberadaan dinas rahasia. Namun, ia menyadari bahwa dinas intelijen yang besar adalah sebuah keniscayaan bagi negara sebesar AS. Terlebih karena ia menyadari bahwa tanpa dinas rahasia yang kuat, Washington hanya akan jadi bulan-bulanan dinas intelijen Inggris. Ia ingat betul betapa setelah OSS dibubarkan, Washington amat bergantung pada suplai informasi dari Inggris. Baginya, ini tentu sangat naif.

Setahap demi setahap CIA dibentuk sebagai pengumpul dan penyuplai informasi strategis dari luar negeri, khusus untuk kepentingan Presiden AS. Presiden menggunakannya untuk menopang pembuatan kebijakan keamanan nasional. Memang, pasca PD II, jelas sekali terlihat bahwa urgensi pembentukan CIA adalah untuk menghadapi komunis Rusia Akan tetapi, setelah berjalan puluhan tahun tanpa kontrol yang jelas, orang mulai menduga-duga tentang adanya agenda khusus yang mereka sembunyikan. Benarkah CIA juga dijalankan untuk melindungi praktik kapitalisme Barat paham lawan utama komunis dunia?

Bak ninja di malam hari?

Eksistensinya yang kian mendunia, posisinya yang amat dekat dengan Presiden, dan kewenangan menggunakan uang tanpa batas, selanjutnya mengundang berbagai pertanyaan dan melahirkan syak wasangka. CIA pun menjadi salah satu institusi yang paling memancing rasa ingin tahu berbagai kalangan, khususnya jurnalis.


Walter Bedell Smith, yang menganggap diri paling tahu tentang Rusia

Untuk mengetahui corak misi, latar-belakang, serta gaya sepak terjang CIA di dunia apalagi masuk ke dalam tubuhnya sayangnya tidak lah mudah. Apa yang biasa kita lihat di film-film layar lebar dan dokumenter, serta buku-buku yang mengungkap kisah-kisah misi rahasia mereka, masih lah bias. Tak banyak orang tahu seperti apa dan bagaimana sesungguhnya sepak terjang mereka di lapangan. Apakah mereka benar-benar bergerak bak ninja di malam hari?

Ironisnya, Presiden AS sendiri, sebagai user utama, kerap tidak mengerti dan tidak percaya dengan apa yang mereka lakukan. Agen-agen CIA di seluruh dunia kerap terlihat sibuk dan turun ke dalam misi yang menegangkan, namun tak jarang kesibukan atau ketegangan itu hanya membuahkan informasi yang tidak akurat kalau tak bisa dibilang konyol. Informasi tentang pabrik senjata biologi-kimia yang kemudian disampaikan dalam pidato kenegaraan Presiden Bush pada 28 Januari 2003, misalnya, menjadi puncak kemarahan Gedung Putih terhadap kinerja CIA yang katanya serba tahu itu.

Namun demikian, rekaan profil dan latar belakang corak misi rahasia mereka setidaknya bisa dirangkai dari jejak karya orang-orang yang punya pengaruh kuat di dalamnya. Setidaknya ada 11 tokoh dengan 11 jalan pemikiran khas yang telah membentuk wajah dinas. Jalan pikiran mereka memberi warna kuat pada profil dan gaya CIA memburu informasi. Mereka ini adalah Jenderal Dwight D. Eisenhower, Letjen Walter Bedell Smith, William J. Donovan, James Forrestal, Allen W. Dulles, Franklin D. Roosevelt, William J. Casey, Richard Helms, Frank Wisner, George HW Bush, dan George Tenet.

Tentang Eisenhower, siapa tak kenal dengan jenderal bintang lima mantan panglima pasukan Sekutu di Perang Eropa ini. Ia tidak pernah menjabat sebagai direktur CIA, namun CIA dan Gedung Putih sangat respek padanya. Ike, begitu dia biasa dipanggil, dipandang jago bikin arahan strategis. Ketika Presiden John F. Kennedy dihadapkan pada situasi kritis seputar rencana penempatan rudal jarak menengah Uni Soviet di Kuba pada Oktober 1962, ia tak segan mengutus Direktur CIA John McCone menemui Eisenhower di tempat tinggalnya di Gettysburg, Pennsylvania. Ia jauhiauh diutus hanya untuk sebuah arahan terbaik” menghadapi Fidel Castro dan Nikita Khruschev.

Kennedy seperti “kalah awu” menghadapi kedua musuh bebuyutan AS itu. Ia khawatir, salah ambil keputusan, akan memicu Perang Dunia III. Kengerian yang selalu membayangi Eisenhower. Ike lalu menyarankan sebuah aksi militer mengisolasi Havana bukan invasi disertai ancaman mengambil-alih jantung pemerintahan. Gertakan Ike berhasil meluruhkan niat Moskow. Dalam beberapa jam, enam kapal pengangkut rudal Soviet yang sudah masuk ke perairan Kuba tiba-tiba berhenti dan berbalik arah.

Di masa pemerintahannya, Eisenhower telah mengaktifkan CIA untuk memerangi musuh Amerika di Asia, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Dia telah melancarkan 170 aksi rahasia yang besar di 48 negara, apakah itu misi politik, psikologis dan paramiliter sebuah “kepedulian” yang tertinggi dibanding presiden-presiden AS lainnya.

Nasihat Eisenhower, yang tertatah pada batu prasasti Gedung CIA, hingga kini masih terus menyemangati seluruh staf dari gempuran kritik.
“Aspirasi fundamental Amerika adalah menjaga kelangsungan perdamaian. Kita berusaha membuat kebijakankebijakan dan kesepakatan-kesepakatan agar perdamaian itu langgeng dan berharga. Ini hanya bisa dilakukan berdasarkan informasi yang layak dan komprehensif. …Kualitas pekerjaan Anda akan sangat menentukan keberhasilan kita memantapkan posisi bangsa ini dalam pergaulan internasional….Sukses tidak bisa dipromosikan, kegagalan tidak bisa dijelaskan. Dalam pekerjaan intelijen, pahlawan tidak diberi tanda jasa dan tidak perlu pujian.”
Walter Bedell Smith turut memberi warna lain. Di tangan pengganti Roscoe ini, CIA tampak lebih sangar dan serba tahu tentang komunis dan Uni Soviet. Itu karena mantan Kepala Staf Panglima Sekutu semasa PD II alias tangan kanan Eisenhower ini memang pernah diberi tugas menjadi Duta Besar AS untuk Uni Soviet. Ia banyak tahu tentang Kremlin karena selalu dijejali pengetahuan tentang itu oleh George Kennan, yang tak lain adalah Kuasa Usaha AS di Soviet semasa Smith jadi Dubes di sana. Dan, merasa paling tahu tentang Joseph Stalin karena memang pernah berbincang-bincang langsung dengan Sang Generalissimo.

Tak heran banyak orang bilang, mereka berdualah yang sesungguhnya menyalakan sirine peringatan bahaya komunis terhadap kelangsungan kapitalisme Barat. Semua ini berawal dari pertanyaan tentang sepak terjang komunis di Eropa, yang amat menghantui benaknya. Mengapa setelah mengorbankan 20 juta nyawa rakyat Rusia saat menghadapi kekejaman Nazi, Stalin dan Tentara Merahnya justru ingin mencaplok separuh Eropa dan menebar ketakutan di sana.

Kepada Smith, Kennan mengatakan: “Orang-orang Soviet tidak mempan logika berpikir, tetapi sangat sensitif terhadap logika kekuatan”. Untuk membuktikannya, Ia pun ngotot ingin bertemu Stalin, dan itu terjadi pada April 1946. Dalam kesempatan yang amat langka itu, is bertanya:
“Apa yang diinginkan Soviet, dan sejauh mana Rusia akan mengejar keinginan itu?” Smith sengaja tidak memperjelas pertanyaannya karena yakin Stalin pasti tahu arah pertanyaan itu.
Sambil menatap ke kejauhan dan menghembuskan asap rokok, Stalin hanya menjawab pendek.
“Rusia mengenali musuhnya. Kami tidak akan pergi terlalu jauh.”
Jawaban itu memang begitu klise. Entah terkait atau tidak, seperti ini pula misi-misi CIA dalam memerangi komunis. Klise dan diselimuti kerahasiaan. Smith amat irit dalam mengumbar pengetahuannya tentang Kremlin. Ketika sejumlah anggota senat bertanya tentang ini disaat Presiden Truman menganugerahinya bintang empat, dia hanya menjawab: “Hanya dua tokoh yang tahu. Satu, Stalin, dan yang kedua, Tuhan. Tapi saya tidak yakin apakah Tuhan mau memberitahukan Paman Joe (sebutan untuk Amerika).


Tribute in Light, sorotan dua cahaya lampu dari Manhattan, dekat Brooklyn Bridge, dalam peringatan setengah tahun 9/11. Peristiwa 9/11 menjadi trauma yang tak terobati bagi segenap warga AS. CIA dibentuk untuk mengantisipasi segala bentuk ancaman dari luar. Ironisnya, CIA yang telah didanai miliaran dollar dan masyhur di negeri orang, hari itu gagal melakukan tugas tersebut

Keangkeran dan kemisteriusan CIA tak lepas dari jalan pikiran William J. Donovan. Mantan Direktur OSS (1942-1945) ini lah yang sejatinya menyiapkan format CIA di awal pembentukannya. Ketika memimpin OSS, is telah berulang kali mengatakan kepada Presiden Roosevelt bahwa AS harus memiliki dinas intelijen yang bersifat global dan totaliter. Presiden telah memberinya lampu hijau, termasuk kepada pahlawan Perang Eropa Jenderal Bintang Lima Dwight D. Eisenhower, juga Kastaf kepercayaannya, Jenderal Walter Bedell Smith.

Dengan senang hati, atas permintaan Smith dan Eisenhower, Donovan bahkan telah membuatkan garis besar perencanaannya. CIA menurutnya cukuplah sebuah organisasi kecil beranggotakan 13.000 orang, bisa mempelajari kemampuan, tujuan dan aktivitas bangsa asing. Dia iuga bisa menjalankan operasioperasi rahasia di luar negeri, di tempat-tempat yang menjadi musuh Amerika. Wild Bill, begitu biasa ia dipanggil, membayangkan tugas organisasi ini amat tricky. Untuk itu ia berharap CIA bisa memanfaatkan broker Wall Street, kaum terpelajar dari Ivy League, para serdadu bayaran, wartawan, stuntmen, perampok rumah bertingkat, bahkan para penipu.

Donovan adalah prajurit tua pemberani pahlawan dari medan pertempuran Perancis semasa Perang Dunia II. Ia sangat suka spionase dan sabotase. Ia adalah tentara sejati sekaligus seorang politisi buruk. Tak heran, jika tak sedikit jenderal dan laksamana kurang suka padanya Belakangan, Roosevelt sendiri tak suka dengan keinginan tersembunyinya mendirikan Gestapo Amerika. Demikian pula dengan pengganti Roosevelt, yakni Harry Truman.


Presiden Ronald Reagan dengan T-shirt kampanye antikomunis.

Di tangan Truman lah, impian Donovan dimatikan. Ia dipecat pada 1945, dan OSS dibubarkan. Namun, obsesi dan cita-cita Donovan tentang CIA tak sertamerta mati. Ia memiliki dua anak buah yang amat setia, yakni Allen W. Dulles dan William Casey yang akan menjadi pemimpin masa depan CIA. Pada 1953, Allen W. Dulles menjadi Direktur CIA menggantikan Bedell Smith. Sementara William Casey menjadi direktur pada 1981, diangkat semasa pemerintahan Ronald Reagan.

Spionase 8 operasi rahasia

Kalau ada tokoh intelijen AS yang kemudian berhasil membuat CIA pandai melakukan spionase dan peperangan atau aksi rahasia, mereka ini pastilah Richard Helms dan Frank Wisner. Mengawali karier sebagai agen muda OSS, Helms dan Wisner selanjutnya mendirikan dua kubu yang berbeda. Sama dengan Allen Dulles dan William Casey, keduanya juga terbilang murid William J. Donovan.

Richard Helms sangat terobsesi untuk mengetahui dunia dengan cara-cara pengintaian yang sabar dan bertahap, lewat operasi spionase. Sementara Frank Wisner cenderung ingin mengubah dunia lewat berbagai teknik peperangan atau aksi-aksi rahasia. Masing-masing memiliki kubu dan loyalis. Kubu-kubu inilah, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, yang kelak turut menciptakan wajah khas CIA di masa datang.

Wisner yang sebelum menekuni profesi intelijen adalah seorang pengacara berbaju militer selanjutnya membentuk kubu dengan anggota ribuan orang. Dia merekrut dari beraneka ragam profesi. Mulai dari tentara, orang-orang kantoran, seniman, hingga mahasiswa, dosen sekaligus para profesornya mulai dari Yale, Harvard hingga Princeton. Dia juga merekrut paruh waktu sejumlah pengacara, bankir dan veteran perang.
Mirip bisnis multi level marketing, “Mereka lalu menarik orang-orang dari jalanan, siapa saja yang memiliki darah panas yang bisa mengatakan ya atau tidak atau menggerakkan lengan dan kaki,” ujar perwira CIA, Sam Halpern.

Wisner juga fasih bermain mata dengan para pimpinan tertinggi media cetak dan elektronik yang amat berpengaruh. Dia misalnya bisa “menyetir” pimpinan Time, Life dan Fortune, bahkan produser film di Hollywood, untuk kepentingan propaganda dan peperangan politik. Peran ini sangat ampuh tatkala AS berupaya membebaskan Eropa dari pengaruh komunis Soviet di penghujung dasawarsa 1940-an.

Wisner setidaknya membuka 36 stasiun di luar negeri (hanya dalam enam bulan), yang kemudian meningkat jadi 47 stasiun dalam tiga tahun. Di setiap kota di mana stasiun itu dibentuk, dia mengangkat dua kepada stasiun CIA. Satu bertanggung-jawab untuk urusan aksi rahasia, satunya lagi untuk tugas-tugas spionase. Uniknya, agen-agen dari tiap stasiun kerap bekerja tumpang-tindih, saling bajak, saling curi agen, bahkan berkelahi.

Dengan kelihaiannya, Wisner bahkan bisa merebut pesawat terbang, senjata, amunisi, parasut, serta seragam-seragam cadangan dari Pentagon dan pangkalan militer di daerah pendudukan di Eropa dan Asia, untuk kepentingan operasinya. Dia bahkan mampu merebut gudang logistik militer senilai seperempat miliar dolar.Posisinya di CIA memang sangat krusial.

Dia bahkan bisa meminta personel dan bantuan serupa dari dinas mana pun di pemerintahan, setiap kali memerlukannya,” ujar James McCargar, salah satu dari orang-orang pertama yang direkrut Wisner, mengenang. Keberhasilan Wisner dan tim mengembalikan Uni Soviet ke batas lama Rusia dan membebaskan Eropa dari cengkeraman komunis langsung melambungkan namanya di mata kalangan petinggi Gedung Putih dan Pentagon. Ini adalah proyek besar, di wilayah yang benar-benar jadi perhatian dunia. Tapi tak banyak orang tahu kalau misi sebesar itu hanya dikendalikan dari sebuah bangunan tua beratap seng milik Departemen Perang, yang tersudut di antara Monumen Lincoln dan Monumen Washington. Bangunan ini biasa disebut oleh para anggota Wisner: Istana Tikus.

Perjalanan yang ditempuh Richard Helms agak berbeda. Jika Frank Wisner tak pernah mendapat kesempatan menjadi direktur CIA, Helms mendapatkannya. Dan itu terjadi di masa pemerintahan Lyndon B. Johnson. Tepat setelah Eisenhower memberikan nasihat kepada pengganti John F. Kennedy yang tewas tertembak di Dallas. Pada Juli 1965, Johnson menelpon Ike untuk meminta nasihat tentang bagaimana memenangkan perang di Vietnam.

Jawaban Ike singkat saja. “Kemenangan sangat bergantung pada intelijen yang baik. Inilah yang paling sulit.” Jawaban ini rupanya sekaligus dilontarkan untuk mengritik kerja William Raborn, direktur CIA saat itu. Di tengah kepahitan yang harus diterima Washington dan tentara AS di Vietnam, Raborn malah telah menenggelamkan “kapalnya” (maksudnya: CIA). “Anda akan mendapat kesulitan besar, kecuali tempat itu digantikan oleh Helms yang lebih berotak,” begitu kata senator Richard Russel.

Russel tampaknya mengagumi analisa Helms tentang kegagalan AS di Vietnam, “Vietnam adalah mimpi buruk bagi saya. Kegagalan menembus pemerintah Vietnam Utara benar-benar bikin frustasi. Kami tidak bisa memastikan apa yang sedang terjadi di level tertinggi di pemerintahan Hanoi. Kami juga tidak bisa membuat kebijakan. Penyebab paling mendasar dalam kegagalan intelijen ini adalah ketidakpedulian bangsa kita tentang sejarah, masyarakat dan bahasa Vietnam. Kita tidak memilih untuk mengetahui, sehingga kita tidak tahu seberapa banyak yang kita tidak tahu. Ini lah yang membuat kita banyak salah ambil keputusan.

Ironi dan kontroversi

Helms diangkat sebagai Direktur CIA pada 30 Juni 1966 dengan kondisi keluarga yang hampir mirip dengan kebanyakan keluarga intelijen. Jabatan itu menempatkannya sebagai salah satu orang terkuat di Washington. Institusi yang dipimpinnya memiliki anggota 20.000 orang dan anggaran satu miliar dolar per tahun. Ia bekerja mulai dari jam 06.30, sehari penuh, termasuk Sabtu, dan jarang berlibur. Tak heran jika di rumah, ia hanya mendapati istri yang sakit-sakitan karena kurang perhatian dan seorang putra yang putus kuliah.


Joseph Stalin, Harry Truman dan Winston Churchill, bertemu dalam Konferensi Postdam di Jerman (1945). Ketiganya tampak akur. Di belakang ini semua, AS sangat menaruh kekhawatiran terhadap gerakan Stalin dan komunis Rusia, tak lama setelah Perang Dunia II berakhir

Ada tiga agenda besar yang harus dikerjakannya, melanjutkan tugas yang ditinggalkan Raborn. Pertama, di Laos, CIA harus bisa memotong jalur Ho Chi Minh Trail. Kedua, di Thailand, CIA harus bisa mengatur pemilu perdana menteri. Ketiga, di Indonesia, CIA harus bisa memberi dukungan rahasia bagi pemimpin-pemimpin yang telah membunuhi komunis.

Ketiga negara merupakan kartu domino yang harus dijaga tetap berdiri dalam barisannya. Jika salah satu tumbang, Vietnam akan tumbang.

Baginya, posisi jabatan dan tugas-tugas itu lebih dari segalanya. Ini lah puncak kebahagiaan bagi dirinya. Situasi ini benar-benar sebuah kebalikan bagi rekannya, Frank Wisner, yang pernah terbang bersama-sama meninggalkan Berlin menuju Washington demi satu tujuan: membangun CIA yang kuat. Pada 29 Oktober 1965, tak lama setelah mendapat kabar promosi Helms untuk menduduki posisi puncak CIA, ia pergi berburu ke tanah luas miliknya di Maryland. Sore hari Letnan AL Frank Wisner naik ke atas rumahnya, mengambil senapan berburu, lalu menembak kepalanya sendiri!

Beberapa bulan terakhir, kejiwaan Wisner bergolak. Hal ini terjadi menyusul diberhentikannya dirinya dari posisi kepala stasiun London, untuk kemudian dipaksa pensiun. Keluar masuk rumah sakit jiwa, ia menjadi gemar minum wiski dan suka membicarakan Adolf Hitler. Ia tewas dalam kefanaan di usia 56 tahun. Sungguh ironis. Kematiannya mengingatkan orang pada nasib yang menimpa James Forrestal, pencipta dan komandan berbagai operasi rahasia CIA. Setelah mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan, 28 Maret 1949, ia sering menyendiri di Perpustakaan Kongres. Kepada Dr William C Menninger, ahli jiwa yang ditunjuk Mabes AL, ia sering mengeluh sulit tidur.

Pada malam ke-50 di ruang unit kejiwaan RS AL Bethesda, ia lalu menulis puisi Yunani, “Paduan Suara dari Ajax”. Pada sebuah bans, belum lagi ia sempurna menulis kata nightingale, ia menjatuhkan diri dan lantai 16. Nightingale rupanya adalah kata sandi perlawanan pasukan Ukrania yang diberi wewenang oleh dirinya untuk melawan pasukan rahasia Stalin.


Salah sato halaman dari panduan Marshall Plan. Program bantuan tunai dari AS untuk membangun kembali perekonomian di 16 negara Eropa dan Asia. Kabarnya, di balik program ini "terselip" kewenangan rahasia bagi CIA untuk menggunakan dana untuk peperangan politik melawan komunis Uni Soviet

Tidak pendirinya, tidak organisasinya. Seolah keduanya memang bakal menerima “karma” atas segala operasi kontroversial yang mereka kerjakan. Kematian Wisner dan Forrestal hanyalah contoh. Selain operasi mereka yang kerap menghalalkan pembunuhan atas nama keselamatan negara, yang tergolong kontroversial adalah juga sumber keuangannya. Tak pernah ada lembaga pemerintahan yang mampu mengungkap bagaimana mereka bisa mengelola dan mengeluarkan uang hingga jutaan dolar? Uang itu lah yang di antaranya untuk mendanai misi rahasia di berbagai negara dan menyuap politisi di berbagai negara.

Menurut Tim Weiner (Legacy of Ashes The History of CIA, 2007), salah satu pundi terbesar yang tak pernah habis dikeruk adalah “brankas” peninggalan proyek Marshall Plan. Marshall Plan sejatinya adalah program bantuan tunai yang dirancang khusus oleh Washington untuk pemulihan kerusakan di 16 negara Eropa dan tiga negara Asia akibat Perang Dunia II. Program antara 1947-1951 ini intinya digelar untuk memperkuat pondasi perekonoman dan agar negara-negara itu bisa menjadi barikade perekonomian serta politik AS dari segala upaya serangan komunis Soviet. Disebut Marshall Plan karena program ini dilansir oleh Menlu AS saat itu, George Marshall. Meski begitu, arsitek yang sesungguhnya adalah William L Clayton, James Forrestal, Allen Dulles, dan George Kennan.


Peta "Pandangan dari Washington"ini adalah gambaran peta dunia yang dibuat oleh AS pada saat era Perang Dingin. Warna-warna negara dalam peta tersebut menggambarkan aliansi politik negara tersebut.

Dari ketiga arsitek terakhir itu saja, kita sudah bisa menduga apa yang direncanakan. Jika Anda mencurigai sesuatu, percayalah, itu tidak berlebihan Sebab, baik Forrestal, Dulles dan Kennan memang sempat membantu merancang aturan tambahan rahasia yang memberi CIA wewenang untuk melancarkan peperangan politik. Ketentuan ini membiarkan CIA untuk bisa mengambil uang jutaan dolar dari proyek tersebut.

Prosedurnya sangat sederhana. Setelah Kongres menyetujui Marshall Plan, lembaga itu menyediakan dana sebesar 13,7 miliar dolar untuk jangka waktu lima tahun. Negara penerima bantuan rupanya harus membayar kembali bantuan itu seolah pinjaman. Nah, dari pinjaman (mungkin, berikut bunga) yang dikembalikan itu lah CIA akan mendapat lima persen, yang secara otomatis akan dikirim ke kantor-kantor perwakilannya di luar negeri.

Mengomentari pembocoran informasi seperti itu, sejumlah pengamat mengatakan, Marshall Plan tak lebih dari sebuah mesin raksasa pencuci uang. Kerahasiaan praktik ini setidaknya berhasil ditutup-tutupi hingga Perang Dingin berakhir, dan itu artinya hingga masa keruntuhan Uni Soviet di tahun 1991. Model pendanaan seperti ini kabarnya telah menjamin keberlangsungan aksi rahasia dan mata-mata di seantero Eropa dan Asia.

Dana-dana rahasia ini tak ayal menjadi “pemompa darah” operasi-operasi CIA. Mereka memiliki sumber dana yang tak terlacak, yang bahkan kerap bikin geleng kepala elite politik. Itu karena tak semua orang tahu, bahkan Presiden pun kerap tak memahami bagaimana proses pendanaan itu terjadi. Presiden AS lebih suka tutup mata dan tutup kuping, karena disadarinya, semua itu, Marshall Plan, Doktrin Truman, dan semua operasi rahasia CIA merupakan bagian terpenting dari strategi besar melawan komunis dan Stalin. Dan, Presiden termasuk CIA menyakini bahwa Uni Soviet pun memiliki strategi serupa untuk melawan kepentingan AS di dunia, yang kerap disebut berbagai pengamat dunia sebagai: kapitalisme Amerika.


Laksamana James Forrestal. salah satu tokoh AL AS yang banyak berkontribusi dalam operasi rahasia CIA. Dedikasinya yang mendalam membuat dirinya kerap diliputi kecemasan. Kecemasan ini lah yang akhirnya membuat dirinya sepakat mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

Sepanjang jalannya Perang Dingin, CIA telah mengendalikan tiga orang agen yang mampu menyediakan rahasia yang sangat bernilai tentang ancaman militer Soviet. Tetapi semua sudah ditangkap dan dieksekusi. Dedikasi mereka mengalahkan satelit mata-mata yang telah menghitung jumlah tank dan rudal secara tepat. Pun, telah mengalahkan sekian banyak alat penyadap yang telah merekam jutaan kata. Itu karena mereka telah menguntit buruannya dari dekat.

Setelah komunis Rusia runtuh sejalan dengan keruntuhan Uni Soviet, “sosok” musuh AS bergeser. Seperti kita ketahui, kini bukan lagi komunis, tetapi teroris. Sejak kehancuran Soviet, CIA tidak semakin kuat dan lebih siaga. CIA telah kehilangan lebih dari 3.000 orang terbaiknya. Sekitar 20 % dari jumlah itu adalah mata-mata senior, analis, ilmuwan dan ahli teknologi. Tambahan lagi, kira-kira tujuh persen karyawan sudah keluar tiap tahunnya. Jumlah ini menambah kehilangan lebih dari seribu agen rahasia berpengalaman dan hanya menyisakan tidak lebih banyak dari seribu orang.

George Tenet, semasa memimpin CIA pernah berkata, CIA menjadi gamang dalam menghadapi masa depan dengan pasukan yang begitu lemah di barisan depan. “Akan ada saatnya kita harus berlomba mengejar hal-hal yang tidak kita perhitungkan sebelumnya, bukan karena seseorang tertidur saat giliran jaga, melainkan karena apa yang sedang terjadi terlalu rumit,” katanya. Apa yang dicemaskan terbukti lewat kehancuran akibat Serangan 11 September.

Ada harapan bahwa kita sudah membangun sistem intelijen tanpa cacat, bahwa intelijen tidak hanya diharaplcan memberi tahu Anda apa yang sedang menjadi tren, memberi tahu Anda tentang banyak kejadian, dan memberi tahu Anda tentang pemahaman yang mendalam, tetapi juga dalam setiap kasus yang bertanggungjawab memberi tahu Anda tentang tanggal, waktu, dan kolusi suatu kejadian. CIA sendiri sudah lama menciptakan harapan dan dugaan itu. Tetapi, baginya, ini hanyalah khayalan semata. “Kita akan terus terkejut,” tukas Tenet. Dan, itu memang benar adanya.


singkat kata:
CIA atau Central Intelligence Agency merupakan agen rahasia pemerintah Amerika Serikat. Didirikan pada 18 September 1947 sesuai penandatanganan NSA 1947 (National Security Act) oleh Presiden Harry S. Truman


CIA merupakan kamuflase dari OSS (Office of Strategic Services) yang menjadi agen spionase Amerika untuk pemenangan Perang Dunia II (PD II). Pada saat PD II berkecamuk, Amerika secara diam-diam mengambil kesempatan dengan membangun kekuatan baru secara rahasia di Eropa demi membendung pengaruh komunis. Kerja keras agen rahasia Amerika semakin bertambah, ketika fasis Hitler mengalami kekalahan dan diikuti kemenangan dan kemunculan kekuatan sosialis dan komunis di Eropa, Asia dan Amerika Latin.
TIMELINE:



Presiden Harry Truman


13 Juni 1942:
Presiden Franklin D Roosevelt menandatangani perintah pendirian Dinas Intelijen Strategis (the Office of Strategic Services/ OSS) menggantikan Kantor Koordinator Intelijen (Coordinator of Intelligent/C01) dan mengangkat William J. Donovan sebagai Direktur.


1 Oktober 1945:
Presiden Harry S Truman mengeluarkan surat perintah no. 9621 untuk menghapus OSS dan memindahkan fungsinya ke dalam Deparlemen Luar Negeri dan Peperangan.


22 Januari 1946:
Presiden Truman menandatangani surat perintah pembentukan Central Intelligence Group di bawah National Intelligence Authority dan mengangkat Laks. Muda Sydney W. Souers sebagai Direktur.


18 September 1947:
The National Security Act tahun 1947 menetapkan the National Security Council dan the Central Intelligence Agency (CIA) menggantikan the National Intelligence Authority dan the Central Intelligence Group.


1 Desember 1950:
Direktorat Administrasi ditetapkan


2 Januari 1952:
Pembentukan Direktorat Intelijen


1 Agustus 1952:
Pembentukan Direktorat Perencanaan


4 Agustus 1955:
Presiden Dwight D. Eisenhower menandatangani surat
pengucuran dana 46 juta dolar AS untuk membangun kantor pusat CIA


3 November 1959:
Pembangunan kantor pusat CIA di Langley, Virginia.


5 Agustus 1963:
Pembentukan Direktorat Ilmu dan Teknologi


1 Desember 1964:
Presiden Lyndon B. Johnson menerima laporan harian (President’s Daily Brief /PDB) yang pertama.


1 Maret 1973:
Direktorat Perencanaan diubah menjadi Direktorat Operasi


1 November 1985:
Wakil Presiden George H.W. Bush memperluas kantor pusat CIA. Kantor baru ini terbangun tahun 1989.


18 September 1997:
CIA merayakan ulang tahun ke-50


26 April 1999:
Sebuah halaman di kantor pusat didedikasikan kepada George Bush Center untuk Intelijen.


4 Juni 2001:
Penggantian Direktorat Administrasi dengan CFO (Chief
Financial Officer), CIO (Chief Information Officer), Global Supporl, Sumber Daya Manusia dan Kantor Pendukung Misi Keamanan.


17 Desember 2004:
Presiden George W. Bush menandatangani the Intelligence Reform and Terrorism Prevention Act sekaligus restrukturisasi komunitas intelijennya. Menghapus posisi DCI dan DDCI serta mengatur ulang posisi Direktur CIA.


4 Januari 2005:
Membentuk Direktorat Pendukung menggantikan Kantor Pendukung Kegiatan


13 Oktober 2005:
Membentuk Layanan Klandestine Nasional menggantikan Direktorat Operasi


http://sejarahperang.wordpress.com/2010/12/19/cia-dinas-intelijen-terbesar-didunia/ http://sejarahperang.wordpress.com/2010/12/19/timeline/ http://en.wikipedia.org/wiki/Central_Intelligence_Agency http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Intelijen_Pusat http://nusantaranews.wordpress.com/2009/01/20/sejarah-cia/
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=136455 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar