Jumat, 13 Januari 2012

Ketika Seniman Membawa Khadafi Ke Tembok Tembok Kota

Di Tripoli, potret Muammar Khadafi terlihat di mana: di tembok-tembok dan papan-papan reklame, di lobi hotel, perkantoran, toko-toko, perumahan dan sekolah-sekolah. Pemimpin Libya yang menyandang gelar Brotherly Leader and Guide of the Revolution itu biasanya muncul sebagai semacam dewa atau dalam seragam militer berlatar belakang cahaya. Sepanjang masa pemerintahannya, pikiran tentang bagaimana melakukan kontrol dan di mana gambar-gambarnya musti muncul telah dicatat dalam ‘kamus kediktatorannya’.

Di Benghazi, jika berjalan di sepanjang pantai Mediterania, kamu bisa melihat begitu banyak gambar tentang sosok yang telah memimpin negeri gurun itu selama lebih dari 4 dekade. Hanya saja, di kota tersebut gambar-gambar itu digunakan sebagai senjata untuk melawan dirinya.

Karikatur yang menjelek-jelekkan Khadafi dan grafiti anti pemerintah atau pro demokrasi bermunculan di pusat-pusat kota, di pangkalan-pangkalan militer yang telah hancur, di atas gedung dan di tembok-tembok. Ada gambar Khadafi berekor ular dan lidah bercabang, Khadafi sebagai drakula, Khadafi sebagai badut, Khadafi digigit anjing, Khadafi dengan sepatu lars di kepalanya. Bermacam-macam dan tak terhitung. Tema yang paling populer adalah Khadafi, dengan berlumuran darah, sedang meneror atau membantai rakyatnya atau menjarah minyak negara.

Tobruk, al-Bayda, Derna dan kota-kota lain juga telah bergabung dalam aksi seni perlawanan ini. Tembok-tembok dipenuhi dengan karikatur yang mengejek dan menyindir.

Tapi Benghazi-lah pusat pergerakan itu. Kira-kira 3 bulan sejak gerakan anti Khadafi dimulai dan api revolusi menyala lebih terang dari sebelumnya. Khadafi masih berkuasa di Tripoli, kekuatannya masih mengendalikan sebagian besar Libya. “We have a dream,” adalah salah satu slogan – tertulis dalam bahasa Inggris – di papan reklame raksasa yang saat itu sudah mulai bermunculan. Pinggiran pantai Benghazi adalah tempat di mana mimpi itu kelihatan paling nyata. Bendera merah, hijau dan hitam milik para pemberontak berkibar di mana-mana, berdampingan dengan bendera Perancis, Inggris dan Amerika. Hiruk pikuk unjuk rasa anti Khadafi diadakan hampir setiap hari di alun-alun pinggir pantai. Bersama para kepala suku, politisi atau pemberontak yang menyampaikan pidato berapi-api, mereka bersorak sorai tepuk tangan, dan merayakannya dengan tembakan-tembakan senjata.

Dengan cepat mereka mendirikan surat-surat kabar, stasiun radio, grup-grup musik rap untuk menyatakan hal-hal yang beberapa bulan sebelumnya bisa mengakibatkan mereka dipenjara atau lebih buruk dari itu. Tapi, karikatur tentang Khadafi-lah manifestasi paling mencolok dari kebebasan berekspresi. Atmosfer panas Benghazi mengingatkan orang pada awal-awal revolusi di Havana, dan seni-seni revoluisoner mengingatkan pada coretan-coretan dinding tentang Che Guevara serta pemberontakan-pemberontakan lainnya yang masih menghiasi dinding-dinding di Kuba.

Sekelompok anak muda berpendapat bahwa mereka menyampaikan tidak dengan senjata tetapi dengan pena warna dan kaleng cat. Salah satu dari mereka telah membayar untuk itu dengan nyawanya, ditembak mati oleh polisi rahasia. Kelompok ini sekarang melanjutkan aksinya dengan menggunakan nama rekan mereka yang tewas, Qais al Halali, dan mengambil markas di sebuah bangunan bobrok bekas kantor di samping pengadilan.

Ketika pemberontakan itu bermula, kata salah satu anggota grup, Akram al Bruki, Al Halali dan teman-teman memulainya dengan menggambar karikatur di atas kertas, dan menyebarkannya ke penjuru kota pada orang-orang untuk ditampilkan saat demonstrasi atau ditempelkan di tembok.

“Dia mendapat pesan untuk berhenti,” lanjut al Bruki. Dikirimkan oleh dinas keamanan Khadafi sebelum anak-anak itu diusir keluar dari bagian timur kota. “Tapi dia tidak berhenti. Ketika kami baru saja mulai melakukan ini, kami bersumpah tidak ada orang yang akan bisa menghentikan kami.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar