Sabtu, 10 April 2010

iPod Bikin Telinga Berdengung

.



Musik salah satu cara pendongkrak semangat, musik membuat hidup lebih hidup, tapi apa jadinya jika musik bikin telinga berdengung? Tentu bukan musik yang bikin telinga 'ngungung', tapi perilaku kita mendengarkan musik yang membuat pendengaran jadi tak tajam lagi.
Para peneliti di Australia menemukan sekitar seperempat pengguna iPods mengalami gangguan pendengaran. iPods mania atau pemakai portable music players lainnya sering beresiko mengalami kenaikan telinga berdengung (tinnitus) atau masalah pendengaran lainnya, kecenderungan ini lebih banyak dijumpai pada pengguna iPods yang gila-gilaan memutar volume iPods-nya.
National Acoustic Laboratories di Sydney meminta para responden mendengarkan musik dengan volume sebanding dengan perangkat bermesin motor (ie: mesin bor). Para peneliti menemukan bahwa tingkat dengungan (tinnitus) akan meningkat karena pendengaran tak bisa lagi mengadopsi kebiasaan normal telinga mereka.
Penelitian tersebut mencatat sekitar 25 persen responden cenderung mendengarkan iPods ataupun portable musik lainnya dalam kapasitas 'bising' sebanding dengan tingkat kebisingan suara-suara pada alat pemotong rumput maupun perangkat bermesin motor, dengan rata-rata intensitas diatas 85 decibels.
Dalam ukuran normal, orang dengan pendengaran normal audiogram-nya terletak antara 0 sampai 20 decibels, lebih dari 30 decibels dengan rentangan sampai 100 desibel berarti ada gangguan pendengaran.
Ukuran intensitas pendengaran normal dicatat dalam bentuk audiogram, dimana audigram yang terletak antara 30 sampai 40 decibels termasuk gangguan ringan. Dari 40 sampai 60 decibels termasuk skala sedang. Antara 60 sampai 90 desibel sudah berat. Sebagai gambaran, bunyi mesin bor jalanan sama dengan 100 desibel. Mesin pesawat terbang 120 desibel. Sedang ruangan yang tenang kira-kira sekitar 30 sampai 40 desibel.

Spoiler for Tuli Mengancam Kaum Muda:
Menurut penelitian, ketulian menyerang orang makin dini. Penyebabnya adalah gaya hidup modern, seperti mendengarkan musik melalui earphone.

Entakan irama musik menemani perjalanan Linda-sebut saja begitu
namanya-selama penerbangan dari Bangkok menuju Jakarta . Sejak pesawat
lepas landas hingga mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, sekitar
tiga setengah jam, earphone yang tersambung pada alat pemutar musik mini
terus menempel di telinga gadis 18 tahun ini.

Semula Linda merasa asyik dan nikmat bisa mendengarkan musik
kesayangannya tanpa peduli orang sekitar. Namun, ketika kupingnya tak
lagi disumpal, dia terkejut. Ternyata kupingnya terus berdengung dan
gerebek-gerebek. Berkali-kali Linda menelan ludah, berharap dengungan
dan rasa "penuh" di telinga segera pergi, tapi gagal. Kupingnya malah
makin budek. Hiruk-pikuk kesibukan bandara cuma terdengar sayup-sayup.

Untunglah, perlahan-lahan dengungan itu memudar. Tapi Linda merasa
pendengarannya tak setajam sebelumnya. Kondisi ini memaksanya mendatangi klinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). "Dia mengalami ketulian sampai 110 desibel," kata Ratna D. Restuti, dokter spesialis THT dari Rumah Sakit Proklamasi, Jakarta Pusat, yang menangani gadis itu. Angka 110 menunjukkan ukuran intensitas pendengaran atau audiogram.
Untuk orang dengan pendengaran normal, audiogramnya terletak antara nol dan 20 desibel. Di atas angka itu, artinya kondisi telinga sudah tidak
beres.

Kebiasaan mendengarkan musik dengan alat yang langsung disumpalkan ke telinga (earphone)-yang menjadi tren di kalangan anak muda masa
kini-membuat prihatin Ratna. Apalagi lingkungan sekarang tak bebas dari
kepungan suara bising: rumah dengan suara berbagai peralatan elektronik, jalan raya yang penuh kendaraan bermotor, tempat-tempat hiburan dengan musik keras, dan pabrik yang penuh geraman mesin.

Menurut hasil penelitian Jenny Bashiruddin, yang juga ahli THT, efek
bising ini memang luar biasa. "Tak ada yang menyadari, misalnya, pusat
permainan anak-anak di mal juga sumber bising berbahaya, karena tingkat kebisingannya mencapai 90-95 desibel," kata Jenny, yang melakukan penelitian efek bising di berbagai tempat selama 2007.

Dengan tingkat suara setinggi itu, anak-anak seharusnya hanya boleh
tinggal satu-dua jam. Jika lebih lama dari itu, akan terjadi kelelahan
koklea (rumah siput), yang berperan penting dalam proses pendengaran.
Kelelahan koklea yang terjadi terus-menerus dan tak segera ditangani
dapat menyebabkan gangguan pendengaran menetap. Menurut Jenny, makin sering dan lama diserbu kebisingan, makin cepat berkurang masa seseorang mampu mendengar secara normal. Alhasil, tuli pun makin dini menyerang orang.

Ini rupanya menjadi kecenderungan global. Di Amerika Serikat, melalui
penelitian lebih komprehensif, telah disimpulkan bahwa pendengaran
sekitar 5,2 juta anak berusia 6-19 tahun terganggu gara-gara terlalu
sering terpapar musik keras akibat pemakaian Walkman dan iPod, kebiasaan menikmati televisi ukuran jumbo dengan suara menggelegar, atau pergi ke klub joget dengan musik tekno ajib-ajib.

Para ahli kesehatan di sana memperkirakan anak-anak iPod generation ini
bakal lebih awal mengalami presbiakusis (tuli karena usia lanjut), yakni
pada usia 40-an tahun. Padahal, secara normal, pengurangan kualitas
pendengaran baru terjadi saat menginjak usia 60-70 tahun. Kondisi
Indonesia pun tidak jauh berbeda. Apalagi makin banyak saja orang
wira-wiri dengan kabel bersumpal "tertancap" di telinga.

Bila tidak percaya kedahsyatan dampaknya, lihat saja nasib Linda.
Menurut Ratna, gadis muda itu didiagnosis mengalami tuli akibat bising
karena telah mendengarkan musik dengan perangkat yang langsung menempel di telinga secara terus-menerus lebih dari tiga jam. Alat seperti ini semakin berakibat buruk karena si pemakai cenderung menggeber volume keras-keras agar telinga mereka tidak terganggu suara berisik di sekitarnya. "Seperti jika digunakan di kendaraan, termasuk pesawat dan
kereta api," kata Ratna.

Untunglah Linda segera mendapat pertolongan. Dengan terapi
hiperbalik-memberinya obat-obatan khusus-tingkat ketuliannya berkurang,
tapi tak sembuh. "Tuli akibat bising memang cuma bisa dikurangi, tidak
bisa pulih seratus persen jadi normal kembali," ujar Ratna. Sebab, yang
rusak adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi
menangkap rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah
terganggu dan rusak, tak akan bisa kembali normal.

Menurut Damayanti Soetjipto, ahli THT dari Rumah Sakit MMC, Jakarta
Selatan, paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di
Indonesia, yang kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk. Penyebab lainnya adalah congek, serumen (kotoran telinga), obat-obatan, usia lanjut, tuli sejak lahir, dan tuli mendadak. "Sebenarnya sebagian bisa dicegah, tapi kesadaran masyarakat soal ini masih rendah," katanya.

Untuk mendongkrak kesadaran masyarakat itu, Komisi Nasional
Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian dibentuk dan diresmikan Sabtu dua pekan lalu di Jakarta . Damayanti, yang menjabat sebagai ketua, menerangkan komisi nasional ini dibentuk atas rekomendasi lembaga regional yang dibentuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), Sound Hearing 2030. Tujuan utamanya mengurangi kasus gangguan pendengaran dan ketulian hingga 50 persen pada 2015, dan 90 persen dalam 15 tahun berikutnya.

Masalahnya, kebisingan belum dianggap sebagai ancaman serius. Bising
malah dianggap keren. Beberapa aktivitas kehidupan modern identik dengan kebisingan. Konser-konser musik digelar dengan sound system makin canggih. Tengok juga sejumlah kafe dan diskotek serta berbagai tempat nongkrong anak muda yang bertebaran di penjuru kota . Juga jalan raya yang makin semrawut dan bising. Itu semua masih ditambah dengan hobi mendengarkan musik dengan earphone. Sepertinya, makin bising makin keren. Tapi, jika sudah tuli, pasti tidak lagi keren.

Suara Mengalir Sampai Jauh
1. Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar.
2. Suara lalu diteruskan ke koklea (rumah siput), yang terletak
di bagian tengah telinga.
3. Pada koklea terdapat sel-sel rambut yang berfungsi menangkap
rangsangan atau frekuensi suara.
4. Sel rambut juga berfungsi mengubah energi akustik menjadi
rangsang listrik untuk dapat diteruskan ke pusat persepsi pendengaran di
otak.

* Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat sel-sel
rambut mengalami kelelahan.
* Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan rusak.
* Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses
mendengar. Akibatnya, terjadi penurunan fungsi pendengaran.
* Pada awalnya, penurunan fungsi pendengaran hanya bersifat
sementara, tapi bila paparan bising berlangsung terus, kerusakan akan
permanen.

Batas Intensitas Kebisingan :

Lama Pemaparan
Ruangan tenang: 30-40 desibel
80 dB
16*
Percakapan normal: 65 desibel
85 dB
8*
Pengisap debu, televisi: 60-70 desibel
90 dB
4*
Walkman/iPod: 96 desibel
95 dB
2*
Arena bermain anak di mal: 90-95 desibel
100 dB
1*
Diskotek atau klub malam: 100-120 desibel
105 dB
1/2*
Orkes simfoni: 110 desibel
110 dB
1/4*
Konser musik: rock 110-140 desibel
115 dB
1/8*

*Lama pemaparan tiap hari (jam)

1 komentar: