(www.jelajahunik.us): The Act of Killing, film garapan sutradara Joshua Oppenheimer yang mengisahkan sejarah berdarah G30S/PKI ini terus menuai kontroversi.Beberapa pihak mengungkapkan bahwa sejarah yang diangkat dalam film The Act of Killing tidak mengungkapkan secara utuh sejarah G30S/PKI.
Pihak yang kontra terhadap film ini, diantaranya adalah Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara, mereka berpendapat bahwa film The Act of Killing telah melenceng dari kebenaran sejarah.
Misteri sejarah G30S/PKI memang selalu menjadi 'tambang sejarah' bagi para penggali sejarah, terlebih bagi mereka yang ingin mengungkap kebenaran sejarah kelam G30S/PKI. Begitupun dengan Joshua Oppennhiemer, sutradara lulusan fakultas Film Universitas Harvard ini tertarik untuk mengangkat sejarah G30S/PKI ke dalam layar lebar.
The Act of Killing merupakan film yang didasari oleh kesaksian-kesaksian sejarah Anwar Congo, ia adalah salah seorang pelaku sejarah dan tokoh pemuda di era G30S/PKI.
Pada awalnya pembuatan film The Act of Killing adalah untuk kepentingan studi, karena Oppennhiemer tengah menyelesaikan program doktor di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London, Inggris.
Merasa ada orang yang memberi perhatian untuk mempelajari sejarah bangsa Indonesia dan mendokumentasikan perjalanan hidupnya, Anwar Congo pun tertarik untuk membantu Joshua Oppenheimer, terlebih Anwar Congo dijadikan pemeran utama di film ini.
Namun Anwar Congo merasa tertipu karena film yang semula dibuat hanya untuk kepentingan studi, kini dikomersilkan, film tersebut kini tayang di Festival Film Toronto dan kemungkinan besar akan tayang juga di bioskop-bioskop Hollywood.
Joshua Oppennhiemer telah mengingkari janjinya, sebelumnya ia juga pernah berjanji akan memutarkan film ini setelah Anwar Congo meninggal, hal ini dilakukan untuk menghindari berbagai reaksi atau dampak yang tidak diinginkan dari film tersebut.
Kekhawatiran terbesar saat ini adalah film The Act of Killing adalah tidak memuat kebenaran secara utuh akan sejarah G30S/PKI, karena berbeda kacamata, tentu akan berbeda juga sudut pandangnya. Semoga sejarah Indonesia tidak disamarkan kemudian dihilangkan atau dibelokkan dari kenyataan.
"JAS MERAH: Jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah!" (Soekarno).
sumber
Pihak yang kontra terhadap film ini, diantaranya adalah Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Sumatera Utara, mereka berpendapat bahwa film The Act of Killing telah melenceng dari kebenaran sejarah.
Misteri sejarah G30S/PKI memang selalu menjadi 'tambang sejarah' bagi para penggali sejarah, terlebih bagi mereka yang ingin mengungkap kebenaran sejarah kelam G30S/PKI. Begitupun dengan Joshua Oppennhiemer, sutradara lulusan fakultas Film Universitas Harvard ini tertarik untuk mengangkat sejarah G30S/PKI ke dalam layar lebar.
The Act of Killing merupakan film yang didasari oleh kesaksian-kesaksian sejarah Anwar Congo, ia adalah salah seorang pelaku sejarah dan tokoh pemuda di era G30S/PKI.
Pada awalnya pembuatan film The Act of Killing adalah untuk kepentingan studi, karena Oppennhiemer tengah menyelesaikan program doktor di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London, Inggris.
Merasa ada orang yang memberi perhatian untuk mempelajari sejarah bangsa Indonesia dan mendokumentasikan perjalanan hidupnya, Anwar Congo pun tertarik untuk membantu Joshua Oppenheimer, terlebih Anwar Congo dijadikan pemeran utama di film ini.
Namun Anwar Congo merasa tertipu karena film yang semula dibuat hanya untuk kepentingan studi, kini dikomersilkan, film tersebut kini tayang di Festival Film Toronto dan kemungkinan besar akan tayang juga di bioskop-bioskop Hollywood.
Joshua Oppennhiemer telah mengingkari janjinya, sebelumnya ia juga pernah berjanji akan memutarkan film ini setelah Anwar Congo meninggal, hal ini dilakukan untuk menghindari berbagai reaksi atau dampak yang tidak diinginkan dari film tersebut.
Kekhawatiran terbesar saat ini adalah film The Act of Killing adalah tidak memuat kebenaran secara utuh akan sejarah G30S/PKI, karena berbeda kacamata, tentu akan berbeda juga sudut pandangnya. Semoga sejarah Indonesia tidak disamarkan kemudian dihilangkan atau dibelokkan dari kenyataan.
"JAS MERAH: Jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah!" (Soekarno).
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar